Membunuh Rindu Part II



“ Heii Rei, bukannya itu cowok pujaanmu si Raka?” Aku yang  sedang asyik dengan laptop langsung menoleh mengikuti arah yang ditunjuk  Ana, sahabatku. Deg, seperti biasa hati ini akan langsung berdegub tidak karuan walaupun hanya melihatmu dari jauh. What have you done to me? Seakan tau ada yang memperhatikan kau pun menoleh dan menatap langsung kemataku. Seperti biasa dengan senyummu,  kemudian melambaikan tangan.

“Annn gimana ini? Duuuh, kenapa dia harus ada disini juga sih, padahal ini kan kafenya nggak terlalu terkenal”. Aku sadar sesadar-sadarnya kalau telapak tanganku mulai mengeluarkan keringat ketika kamu berjalan kearahku.

“Mungkin karena kalian memang berjodoh...” Ana menjawab dengan wajah dan nada tanpa dosa yang membuat deg-deganku makin parah. “Biasa aja , nggak usah gugup banget gitu kali..” Kali ini Ana sukses mendapatkan pelototanku.

“ Boleh gabung? Aku nggak tau kalo Uni dan mba Ana suka nongkrong disini juga..” Dan engkau pun duduk dengan santainya  disebelahku. Aku hanya berharap kamu tidak mendengar suara degub jantungku yang semakin kencang.  Aku berusaha memberikan senyum termanis yang aku punya dan berusaha agar gugupku tidak kentara.

“Aku sering nongkrong disini, kopinya enak plus banyak buku yang bisa dibaca. Kalian sering kesini juga?” Aku hanya mengangguk seperti orang bodoh yang lidah nya tiba-tiba dimakan kucing.

“ Minimal 2 kali seminggu kita datang kesini dengan alasan yang hampir sama ama kamu..” Ana menjadi pahlawanku hari ini. Mungkin aku mulai terjangkit penyakit mengira- ngira. Dalam diam aku mencuri pandang padamu. Aku seperti merasa bahwa kau juga memperhatikanku. Walaupun aku tidak terlalu yakin.

“Oh yaa, kok kita nggak pernah ketemu? Baru ini kayak nya ya..” Kau bertanya kepada Ana tapi matamu tertuju kepadaku, semakin membuatku salah tingkah. Ana tidak membantu sama sekali dengan senyum-senyum simpulnya. Aku menemukan kembali lidah ku yang kelu dan menjawab.

“Mungkin kita tidak pernah datang di hari yang sama atau waktu yang sama..”

“Kayaknya sih gitu, eh kapan- kapan kita nongkrong bareng disini lagi ya” Ajakanmu  bagai alunan semilir angin lembut menyentuh hati ku. Senyumku mengambang sekian persen.

“Boleeeh, ntar kamu kasih tau aja kapan, ya kan an?” Aku menoleh kearah Ana yang memperhatikan gerak gerikku dengan senyum simpul, membuat ku ingin mencubit nya. Sebagai seorang sahabat yang tau gimana perasaanku pada Raka, terkadang dia benar- benar memanfaatkan nya untuk menggoda ku.

“Emang aku di ajak juga?”

“Ya iyalah, ya kan Raka?” Yang di sambut anggukan semangat olehmu. Entah kenapa aku merasakan sedikit kekecewaan jauh di dasar hati  yang dengan cepat aku usir. Aku tidak boleh memupuk perasaan ini lebih jauh lagi. Nikmati aja apa yang ada di depan mata. Karena seperti kata mereka ‘jika memang jodoh apapun yang tejadi pasti dia akan menjadi milikmu’.

Resiko mencintaimu dalam diam adalah aku tidak punya hak untuk merasa cemburu walau bagaimanapun. Ketika kau tersenyum kepada yang lain dengan senyum yang seharusnya menjadi milikku. Hanya untukku!! Terasa ada ribuan jarum yang menusuk jantung. Menyesakkan dada. Mencoba mempertahankan seulas senyum yang bahkan tidak menyentuh mata. Mencintai seseorang yang begitu dekat,  cinta yang terus bertumbuh tapi tak bisa digapai, itu sakit. 

“What  hurts the most

Was being so close

And having so much to say

And watching you walk away

And never knowing

What could have been

And not seeing that loving you

Is what i was trying to do”

                                    (What hurts the most)   

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Alor,Heaven On Earth (Part 1)

Sahabat Alor, Tulta dalam Senyuman

1000 Buku Untuk Alor